Munduurr.. munduurr..
Priitt.. priitttt.. Kanan dikitt..
Oke, siiipp..!!!
Begitulah kira-kira nadanya kalau lagi disemprit sama tukang parkir. Gak merdu-merdu amat sih, chordnya masih banyak yang kurang pas. Mungkin lebih cocok kalo pake C dan F#m. (sejak kapan sempritan pake chord?)
Tapi saya kadang jengkel kalau ketemu orang dengan profesi yang satu ini. Bagaimana tidak, tempat kerjanya makin lama makin luas. Sampai halaman depan rumah orang pun kadang jadi lahan parkir dadakan. Jadi kalau bawa motor, uang seribuan harus selalu tersedia di saku celana. Syarat jadi tukang parkir juga gampang. Modal sempritan bekas anak pramuka saja sudah cukup untuk jadi juru parkir. Paling dongkol kalau udah mau kabur tiba-tiba ada yang teriak, "Wooii.. bayar dulu!!!" Entah kenapa selembar uang seribu rupiah bisa jadi seberat laptop. Gak tega kehilangan seribu rupiah.
Itu dulu. Belakangan ini saya belajar sesuatu yang sangat berharga dari beliau-beliau yang sangat rajin meniup sempritannya. Lebih rajin dari wasit sepakbola waktu piala dunia kemarin. Pelajaran yang sangat berharga tentang amanah. Menjaga motor dengan upah seribu rupiah. Kelihatannya menyenangkan bisa dapat uang hanya dengan nyemprit sambil nunjuk-nunjuk. Paling tidak, beban amanah dan tanggung jawabnya atas keamanan barang yang nilainya jauh di atas upah yang diterima patut diacungi jempol. Banyak orang yang diberi upah yang besar tapi tidak bisa menjalankan amanah yang dibebankan padanya. Penyalahgunaan wewenang, menggunakan jabatan untuk memperkaya diri, dst.
Hal ini tentu saja hanya terjadi pada oknum pejabat tertentu, masih ada juga pemikul amanah yang tidak terpengaruh oleh rayuan materi. Hanya saja asumsi masyarakat secara tersirat telah memvonis negatif para pejabat tinggi negeri ini. Jadi, tidak aneh jika suatu saat nanti tukang parkir lebih dihormati dibanding pejabat.
Image: gogotaro.blogspot.com
Image: gogotaro.blogspot.com
6:37 PM
Post a Comment